PEMILIHAN
KATA DAN MAKNA DALAM PUSI
A.
Pemilihan
Kata
Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang
ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama,
kedudukan kata-kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata
dalam keseluruhan puisi itu (Waluyo, 1987:72).
B.
Makna
Dalam Puisi
Makna adalah isi atau kandungan nilai yang sekaligus menjadi pesan
yang hendak disampaikan oleh sebuah puisi. Bila tidak ada makna atau tidak
bermakna, maka keberadaan sebuah puisi dipertanyakan. Unsur yang membangun
sebuah puisi, kata dan tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait,
serta penetapan rima dan irama adalah untuk mengkomunikasikan makna puisi
kepada pembaca. Melalui makna dan kebermaknaan inilah maksud penulisan puisi
disampaikan dan dipahami pembaca. (
1.
Diksi
(Pemilihan Kata)
Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan
setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Selain itu, juga ingin
mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjilmakan pengalaman jiwanya
tersebut, untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam
sajak disebut diksi (Pradopo, 2002: 54).
Seperti misalnya salah satu puisi Chairil Anwar, begitu cermat ia
memilih kata-kata dan kalimatnya. Misalnya sajaknya “Aku” dalam Kerikil
Tajam judulnya “Semangat”, dalam Deru Campur Debu. Chairil Anwar,
(1978:12) dalam (Pradopo, 2002:54) berjudul “Aku”. Juga kata ‘Ku tahu’ pada
baris kedua bait pertama, diganti ‘Ku mau’, sebagai berikut:
SEMANGAT
Kalau sampai waktu ku
‘Ku tahu tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
…..
(Kerikil Tajam,
h. 15)
AKU
Kalau sampai waktu ku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
…..
(Deru Campur
Debu, h. 7)
Chairil mengganti kata-kata itu kalau dirasa-rasakan, dalam kata
‘semangat’ itu terkandung arti perasaan yang menyala-nyala, berlebih-lebihan.
Sedangkan dalam kata ‘aku’ itu, terkandung perasaan menunujukkan kepribadian
penyair dan semangat individualistisnya. Dan judul yang lebih tepat adalah
‘aku’ dibandingkan ‘semangat’.
2.
Kosa
Kata
Menurut Slametmuljana dalam (Pradopo, 2002: 51), alat untuk
menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya
tergantung pada kecakapan sastrawan dalam menggunakan kata-kata dan segala
kemungkinan di luar kata tak dapat dipergunakan, misalnya mimic, gerak, dan
sebagainya.
Seorang penyair dapat juga mempergunakan kata-kata kuna yang sudah
mati, tetapi harus dapat menghidupkan kembali. Misalnya sajak Amir Hamzah
mempergunakan kata-kata marak dan leka yang tak pernah kedengaran
lagi dalam kata-kata sehari-hari, yang artinya cahaya dan lena
atau lalai, dalam sajaknya “Berdiri Aku”:
Benang raja mencelup ujung
Naik marak menyerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
3.
Denotasi
dan Konotasi
Menurut Altenbernd, 1970 dalam (Pradopo, 2002: 58), Sebuah kata itu
mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi adalah artinya yang membujuk, dan
konotasi, yaitu ialah arti tambahannya. Denotasi sebuah kata adalah defenisi
kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan
kata itu, disebutkan, atau diceritakan.
Menurut Wellek, 1968 dalam (Pradopo, 2002: 58), Bahasa yang
denotatif adalah bahasa yang menuju kepada korespodensi satu lawan satu antara
tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk. Jadi, satu kata itu menunjuk satu
hal saja. Yang seperti ini ialah ideal bahasa ilmiah. Dalam membaca sajak orang
harus mengerti arti kamusnya, arti denotatif, orang harus mengerti apa yang
ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan.
Namun dalam puisi (karya sastra pada umumnya),sebuah kata tidak
hanya mengandung aspek denotasi saja. Bukan hanya berisi arti yang ditunjuk
saja, masih ada arti tambahannya, yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang
keluar dari denotasinya. Misalnya sajak W.S Rendra ini:
DI
MEJA MAKAN
Ia makan nasi dan
isi hati
Pada mulut
terkunyah duka
Tatapan matanya
pada lain isi meja
Lelaki muda yang
dirasa
Tidak lagi dimilikinya
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
Melelh air racun dosa
….
(BOOT,
H. 34)
Sambal tomat pada mata; sambal tomat, sambal
yang terbuat dari bahan tomat. Sambal itu rsanya pedas, tomat berwarna merah.
Kalau dibayangkan sambal tomat ada di mata, maka rasanya pedas, pedih, sakit
berwarna merah, serta berair mata, seperti kalau mata kena sambal tomat.
Kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah
kata diperoleh dari setting yang dilukiskan itu disebut konotasi.
Konotasi menambah denotasi dengan menunjukkan sikap-sikap dan nilai-nilai,
dengan memberi daging (menyempurnakan) tulang-tulang arti yang telanjang dengan
perasaan akal, begitu dikemukakan oleh Altenbernd, 1970 dalam (Pradopo, 2002:
59).
4.
Keindahan
Kata
Menurut Slametmuljana, dalam (Pradopo, 2002: 93). Cara menyampaikan
pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya bahasa. Gaya
bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau
hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati
pembaca.
Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan member gerak pada kalimat.
Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan
pikiran kepada pembaca.
Tiap pengarang itu mempunyai gaya bahasa sendiri. Hal ini sesuai
dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Gaya (termasuk gaya bahasa)
merupakan cap seorang pengarang. Gaya itu merupakan idiosyncracy (keistimewaan,
kekhususan) seorang penulis kata Middleton Mury, dalam (Pradopo, 2002: 93),
begitu juga kata Buffon gaya itu adalah orangnya sendiri (Lodge, 1969: 49).
Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan
cara sendiri dalam melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau
beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan. Jenis-jenis bentuk ini biasa
disebut sarana retorika (rhetorical devices).
Sarana
retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran Altenbernd,
dalam (Pradopo, 2002: 93). Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik
perhatian, pikiran, hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan
penyair. Pada umumnya saran retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena
pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh
penyairnya.
Sarana
retorika itu bermacam-macam, namun setiap periode atau angkatan sastra itu
mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap penyair itu
mempunyai kekhususan dalam menggunakan dan memilih sarana retorika dalam
sajak-sajaknya.
Dalam
contoh sajak yang berikut kelihatan sarana retorika tautologi dikombinasi
dengan pleonasme, keseimbangan, paralelisme dan penjumlahan.
St.
Takdir Alisjahbana
DALAM
GELOMBANG
Alun
bergulung naik meninggi,
Turun
melembah jauh ke bawah,
Lidak
ombak menyerah buih,
Surut
kembali di air grmuruh,
Kami
mengalun di samud’ra-Mu,
Bersorak
gembira tinggi membukit,
Sedih
mengaduh jatuh ke bawah,
Silih
berganti tiasa berhenti,
Di
dalam suka di dalam duka,
Waktu
bah’gia waktu merana,
Masa
tertawa masa kecewa,
Kami
berbuai dalam nafasmu,
Tiada
kuasa tiada berdaya,
Turun
naik dalam ‘rama-Mu.
(1984:4)
Dalam
sajak tersebut tampak segalanya selalu berimbang dan simetris, berupa persamaan
atau pertentangan: silih berganti – taiada berhenti; suka-duka; tautbah’gia-merana; tertawa-kecewa.
Keseimbangan ini disebabkan baik oleh tautologi, pleonasme, perseimbangan (balance),
maupun paralelisme.
Tautologi
ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya
supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.
Sering kata yang dipergunakan untuk mengulang itu tidak sama, tetapi artinya
sama atau hamper sama. Misalnya: silih berganti tiada berhenti; tiada kuasa
tiada berdaya.
Pleonasme
(keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu
seperti tautology, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata
yang pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih
terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya dalam sajak tersebut: naik
meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah.
Enumerasi
ialah sarana retorika yang beruapa pemecahan suatu hal atau keadaan
menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan
nyata bagi pembaca atau pendengar (Slametmuljana, Ty:25). Dengan demikian, juga
menguatkan suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas.
Paralelisme
(persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya
serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari
kalimat yang mendahului (Slametmuljana, Tt:29).
Segala
kulihat segala membayang,
Segala
ku pegang segala mengenang.
Retorik
retisense sarana ini mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti
perasaan yang tak terungkapkan. Penyair romantik banyak mempergunakan sarana
retorika ini lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya.
Sajak-sajak
angkatan 45 banyak mempergunaknnya sarana retorika hiperbola. Misalnya
sajak Chairil Anwar berikut ini:
KEPADA
PEMINTA-MINTA
Baik-baik,
aku akan menghadap Dia
Menyerah
diri dengan segala dosa
Tapi
jangan tentang lagi aku
Nanti
darahku jadi beku.
Jangan
lagi kau bercerita
Sudah
tercacar semua di muka
Nanah
meleleh dati muka
Sambil
berjalan kau usap juga.
Bersuara
tiap kau melangkah
Mengerang
tiap kau memandang
Menetes
dari suasana kau datang
Sembarang
kau merebah.
Mengganggu
dalam mimpiku
Meghempas
aku di bumi keras
Di
bibirku terasa pedas
Mengaum
di telingaku.
Baik,
baik aku akan menghadap dia
Menyerahkan
diri dan segala dosa
Tapi
jangan tentang aku lagi
Nanti
darahku jadi beku.
(1959:17)
Dalam
sajak tersebut sarana retorika yang dominan adalah hiperbola, yaitu
saran yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Maksudnya ini untuk
menyangatkan, untuk intensitas dan ekspresivitas. Seperti: jangan tentang lagi
aku / nanti darahku jadi beku. Juga tampak dalam bait ke-2,3,4. Di sini
hiperbola dikombinasi dengan penjumlahan (bait ke 2,3,4 ) maksudnya untuk lebih
mengintensifkan pernyataan. Dengan demikian, lukisan menjadi sangat mengerikan
dan menakutkan, perasaan dosa itu menjadi sangat terasa. Begitu juga
ulangan-ulangan bentuk kerja itu member intensitas: mengganggu-meghempas-mengaum.
Paradoks
adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara beralawanan, tetapi
sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir dan dirasakan. Seperti: hidup
yang terbaring mati, ini sebuah kiasan yang artinya hidup yang tanpa ada
pergerakan, tanpa ada perubahan ke arah yang baik.
Kiamus
adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang, dan salah satu bagian
kalimatnya dibalik posisinya.
5.
Kesimpulan
Dalam membuat sebuah karya sastra salah satunya adalah puisi banyak
sekali yang harus diperhatikan, mulai dari diksi (pemilihan kata), kosa kata,
denotasi dan konotasi, serta keindahan kata tidak lupa pula makna dari sebuah
puisi tersebut, sehingga karya sastra dapat menjadi sebuah karya yang bagus dan
indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar