Minggu, 30 Agustus 2015

Pemilihan Kata dan Makna Dalam Puisi



PEMILIHAN KATA DAN MAKNA DALAM PUSI
       A.    Pemilihan Kata

Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata-kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu (Waluyo, 1987:72).

       B.     Makna Dalam Puisi

Makna adalah isi atau kandungan nilai yang sekaligus menjadi pesan yang hendak disampaikan oleh sebuah puisi. Bila tidak ada makna atau tidak bermakna, maka keberadaan sebuah puisi dipertanyakan. Unsur yang membangun sebuah puisi, kata dan tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait, serta penetapan rima dan irama adalah untuk mengkomunikasikan makna puisi kepada pembaca. Melalui makna dan kebermaknaan inilah maksud penulisan puisi disampaikan dan dipahami pembaca. (

      1.      Diksi (Pemilihan Kata)

Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Selain itu, juga ingin mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjilmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi (Pradopo, 2002: 54).

Seperti misalnya salah satu puisi Chairil Anwar, begitu cermat ia memilih kata-kata dan kalimatnya. Misalnya sajaknya “Aku” dalam Kerikil Tajam judulnya “Semangat”, dalam Deru Campur Debu. Chairil Anwar, (1978:12) dalam (Pradopo, 2002:54) berjudul “Aku”. Juga kata ‘Ku tahu’ pada baris kedua bait pertama, diganti ‘Ku mau’, sebagai berikut:

SEMANGAT

Kalau sampai waktu ku
‘Ku tahu tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
…..
            (Kerikil Tajam, h. 15)




AKU

Kalau sampai waktu ku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
…..
            (Deru Campur Debu, h. 7)

Chairil mengganti kata-kata itu kalau dirasa-rasakan, dalam kata ‘semangat’ itu terkandung arti perasaan yang menyala-nyala, berlebih-lebihan. Sedangkan dalam kata ‘aku’ itu, terkandung perasaan menunujukkan kepribadian penyair dan semangat individualistisnya. Dan judul yang lebih tepat adalah ‘aku’ dibandingkan ‘semangat’.

      2.      Kosa Kata

Menurut Slametmuljana dalam (Pradopo, 2002: 51), alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam menggunakan kata-kata dan segala kemungkinan di luar kata tak dapat dipergunakan, misalnya mimic, gerak, dan sebagainya.

Seorang penyair dapat juga mempergunakan kata-kata kuna yang sudah mati, tetapi harus dapat menghidupkan kembali. Misalnya sajak Amir Hamzah mempergunakan kata-kata marak dan leka yang tak pernah kedengaran lagi dalam kata-kata sehari-hari, yang artinya cahaya dan lena atau lalai, dalam sajaknya “Berdiri Aku”:

Benang raja mencelup ujung
Naik marak menyerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak

            3.      Denotasi dan Konotasi

Menurut Altenbernd, 1970 dalam (Pradopo, 2002: 58), Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi adalah artinya yang membujuk, dan konotasi, yaitu ialah arti tambahannya. Denotasi sebuah kata adalah defenisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan, atau diceritakan.

Menurut Wellek, 1968 dalam (Pradopo, 2002: 58), Bahasa yang denotatif adalah bahasa yang menuju kepada korespodensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk. Jadi, satu kata itu menunjuk satu hal saja. Yang seperti ini ialah ideal bahasa ilmiah. Dalam membaca sajak orang harus mengerti arti kamusnya, arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan.

Namun dalam puisi (karya sastra pada umumnya),sebuah kata tidak hanya mengandung aspek denotasi saja. Bukan hanya berisi arti yang ditunjuk saja, masih ada arti tambahannya, yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Misalnya sajak W.S Rendra ini:
                       

               DI MEJA MAKAN
            Ia makan nasi dan isi hati
            Pada mulut terkunyah duka
            Tatapan matanya pada lain isi meja
            Lelaki muda yang dirasa
Tidak lagi dimilikinya
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
Melelh air racun dosa
….
                        (BOOT, H. 34)

Sambal tomat pada mata; sambal tomat, sambal yang terbuat dari bahan tomat. Sambal itu rsanya pedas, tomat berwarna merah. Kalau dibayangkan sambal tomat ada di mata, maka rasanya pedas, pedih, sakit berwarna merah, serta berair mata, seperti kalau mata kena sambal tomat.

Kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan itu disebut konotasi. Konotasi menambah denotasi dengan menunjukkan sikap-sikap dan nilai-nilai, dengan memberi daging (menyempurnakan) tulang-tulang arti yang telanjang dengan perasaan akal, begitu dikemukakan oleh Altenbernd, 1970 dalam (Pradopo, 2002: 59).

                 4.      Keindahan Kata

Menurut Slametmuljana, dalam (Pradopo, 2002: 93). Cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca.

Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan member gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.

Tiap pengarang itu mempunyai gaya bahasa sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Gaya (termasuk gaya bahasa) merupakan cap seorang pengarang. Gaya itu merupakan idiosyncracy (keistimewaan, kekhususan) seorang penulis kata Middleton Mury, dalam (Pradopo, 2002: 93), begitu juga kata Buffon gaya itu adalah orangnya sendiri (Lodge, 1969: 49). Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan  cara sendiri dalam melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan. Jenis-jenis bentuk ini biasa disebut sarana retorika (rhetorical devices).

Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran Altenbernd, dalam (Pradopo, 2002: 93). Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya saran retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh penyairnya.

Sarana retorika itu bermacam-macam, namun setiap periode atau angkatan sastra itu mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap penyair itu mempunyai kekhususan dalam menggunakan dan memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya.

Dalam contoh sajak yang berikut kelihatan sarana retorika tautologi dikombinasi dengan pleonasme, keseimbangan, paralelisme dan penjumlahan.

St. Takdir Alisjahbana

DALAM GELOMBANG

Alun bergulung naik meninggi,
Turun melembah jauh ke bawah,
Lidak ombak menyerah buih,
Surut kembali di air grmuruh,

Kami mengalun di samud’ra-Mu,
Bersorak gembira tinggi membukit,
Sedih mengaduh jatuh ke bawah,
Silih berganti tiasa berhenti,

Di dalam suka di dalam duka,
Waktu bah’gia waktu merana,
Masa tertawa masa kecewa,

Kami berbuai dalam nafasmu,
Tiada kuasa tiada berdaya,
Turun naik dalam ‘rama-Mu.
                                                            (1984:4)

Dalam sajak tersebut tampak segalanya selalu berimbang dan simetris, berupa persamaan atau pertentangan: silih berganti – taiada berhenti; suka-duka;  tautbah’gia-merana; tertawa-kecewa. Keseimbangan ini disebabkan baik oleh tautologi, pleonasme, perseimbangan (balance), maupun paralelisme.

Tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. Sering kata yang dipergunakan untuk mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hamper sama. Misalnya: silih berganti tiada berhenti; tiada kuasa tiada berdaya.

Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautology, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya dalam sajak tersebut: naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah.

Enumerasi ialah sarana retorika yang beruapa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Slametmuljana, Ty:25). Dengan demikian, juga menguatkan suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas.

Paralelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului (Slametmuljana, Tt:29).

Segala kulihat segala membayang,
Segala ku pegang segala mengenang.

Retorik retisense sarana ini mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak terungkapkan. Penyair romantik banyak mempergunakan sarana retorika ini lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya.

Sajak-sajak angkatan 45 banyak mempergunaknnya sarana retorika hiperbola. Misalnya sajak Chairil Anwar berikut ini:

KEPADA PEMINTA-MINTA

Baik-baik, aku akan menghadap Dia
Menyerah diri dengan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dati muka
Sambil berjalan kau usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku
Meghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.

Baik, baik aku akan menghadap dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang aku lagi
Nanti darahku jadi beku.

                                    (1959:17)

Dalam sajak tersebut sarana retorika yang dominan adalah hiperbola, yaitu saran yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Maksudnya ini untuk menyangatkan, untuk intensitas dan ekspresivitas. Seperti: jangan tentang lagi aku / nanti darahku jadi beku. Juga tampak dalam bait ke-2,3,4. Di sini hiperbola dikombinasi dengan penjumlahan (bait ke 2,3,4 ) maksudnya untuk lebih mengintensifkan pernyataan. Dengan demikian, lukisan menjadi sangat mengerikan dan menakutkan, perasaan dosa itu menjadi sangat terasa. Begitu juga ulangan-ulangan bentuk kerja itu member intensitas: mengganggu-meghempas-mengaum.

Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara beralawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir dan dirasakan. Seperti: hidup yang terbaring mati, ini sebuah kiasan yang artinya hidup yang tanpa ada pergerakan, tanpa ada perubahan ke arah yang baik.

Kiamus adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya.

                   5.      Kesimpulan

Dalam membuat sebuah karya sastra salah satunya adalah puisi banyak sekali yang harus diperhatikan, mulai dari diksi (pemilihan kata), kosa kata, denotasi dan konotasi, serta keindahan kata tidak lupa pula makna dari sebuah puisi tersebut, sehingga karya sastra dapat menjadi sebuah karya yang bagus dan indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar